Tari Guel


Takengon, Kabupaten Aceh Tengah menjadi daerah asal mula Tari Guel. Tari Guel adalah tarian alam yang memiliki kisah sejarah leluhur masyarakat Gayo. Bercerita tentang bagaimana Sengeda dari kerajaan Linge, membangunkan seekor gajah putih yang akan diberikan kepada putri Sultan Aceh di Kutaraja sebagai hadiah.
Tarian ini bermula dari cerita di tanah Gayo tentang mimpi Sengeda, anak Raja Linge ke XIII. Dia bermimpi bertemu kakaknya, Bener Meria yang konon meninggal dunia karena pengkhianatan. Oleh kakaknya, Sengeda diberi petunjuk bagaimana cara mendapatkan Gajah Putih untuk dipersembahkan kepada Sultan Aceh Darussalam. 
Ternyata petunjuk tersebut berguna beberapa tahun kemudian ketika Sengeda diajak Cik Serule, perdana menteri Raja Linge ke XIV memenuhi hajatan sidang tahunan Kesultanan di Ibu Kota Aceh Darussalam. 
Ketika sidang berlangsung, Sengeda menunggu dengan bermain-main di Balai Gading sambil menikmati keagungan istana. Saat itu Sengeda teringat akan mimpinya waktu silam, lalu sesuai petunjuk kakaknya ia melukis seekor gajah berwarna putih pada sehelai daun Neniyun (Pelepah rebung bambu). 
Setelah usai lukisannya itu dihadapkan pada cahaya matahari. Tak di sangka, pantulan cahaya yang indah itu mengundang kekaguman sang Puteri Raja Sultan. Dari lukisan itu, sang Putri menjadi penasaran dan berhasrat memiliki Gajah Putih dalam wujud aslinya. 
Permintaan itu pun diutarakannya pada Sengeda. Sengeda bersedia menyanggupi dan akan menangkapnya di rimba raya Gayo untuk dihadapkan pada tuan puteri dengan syarat Sultan memberi perintah kepada Cik Serule. 
Dari prosesi pencarian Gajah Putih itulah benih-benih dan paduan Tari Guel berasal. Untuk menjinakkannya, diadakan kenduri membakar kemenyan. Di buat juga bunyi-bunyian dengan memukul-mukul batang kayu atau apa saja yang menghasilkan suara. Selanjutnya sejumlah kerabat Sengeda menari untuk memancing sang Gajah. Alhasil, sang Gajah Putih keluar dari persembunyian. Hanya saja ketika berpapasan dengan rombongan Sengeda, hewan tersebut enggan beranjak dari tempatnya. 
Bermacam cara ditempuh, sang Gajah masih juga tidak beranjak. Sebagai pawang pada waktu itu, Sengeda menjadi kehilangan ide untuk menaklukannya. Teringat ia pada mimpinya dan mendapatkan beberapa petunjuk. 
Sengeda kemudian memerintahkan rombongan kembali menari dengan niat tulus dan ikhlas sampai menggerakkan tangan seperti gerakan belalai gajah : indah dan santun. 
Disertai dengan gerakan salam sembahan ternyata mampu meluluhkan hati sang Gajah. Akhirnya, sang Gajah Putih berhasil dijinakkan sambil diiringi rombongan. Sepanjang perjalanan pawang dan rombongan, Gajah Putih sesekali di tepung tawari dengan mungkur (jeruk purut) dan bedak. Setelah perjalanan panjang berhari-hari sampailah rombongan Sengeda ke hadapan Putri Sultan di Pusat Kerajaan Aceh Darussalam. 
Meski secara ilmiah kebenarannya tidak bisa dibuktikan, cerita Sengeda, Gajah Putih dan Putri Sultan senantiasa mengiring perjalanan Tari Guel. Diceritakan berulang-ulang secara turun dan dikenal sebagai temali sejarah yang menghubungkan kerajaan Linge dengan Kerajaan Aceh Darussalam begitu dekat dan bersahaja. Reinkarnasi kisah tersebut, dalam Tarian Guel, Sengeda diperankan Guru Didong, penari yang mengajak Beyi (Aman Manya ) atau Linto Baroe (pengantin laki-laki) yang memerankan Gajah Putih, untuk bangun dari pelaminan. 
Pengulu Mungkur, Pengulu Bedak diperankan kaum ibu yang menaburkan breuh padee (beras padi). Guel memang lekat dengan prosesi perkawinan Gayo. Dahulu setiap pertunjukannya haruslah mendapat izin dari “reje” sebagai penentu pelaksanaan upacara adat. 
Jika ada kesalahan dalam pertunjukan, penari akan di denda. Oleh karena itu calon pengantin laki-laki diharuskan untuk menguasai aturan, susunan, dan elemen tarian ini.
 

Post a Comment

0 Comments