Musik Yang Haram

Hukum musik menurut Imam Abu Hamid Al Ghazali (450-505 H) dalam kitab Ihya Ulumuddin dan Ibnu Qayyim Al Jauziyah (691-751 H) dalam kitab Ighatsatul Lahfan Min Mashaidisy Syaithan.

Secara logis dan analogis, ujar Al-Ghazali masih dalam Ihya’-nya, musik adalah bunyian yang terstruktur (mawzun) yang timbul dari benda mati (terompet, tabuhan, atau gitar) atau makhluk hidup (suara manusia atau binatang lain).
Musik hanya bisa dinikmati dengan indera pendengaran.
Jika musik itu enak didengar, maka indera dengar pun akan bilang kepada pikiran bahwa musik tersebut nyaman.
Begitu juga jika tidak enak didengar, maka pikiran pun akan memberi sugesti bahwa musik tersebut tak nyaman.

Maka mendengar musik adalah kegiatan yang menyangkut salah satu dari lima indera.
Oleh karena itu, ujar al-Ghazali, jika musik yang mana ia adalah bunyian yang enak didengar adalah haram, maka hendaknya bau wangi, makanan enak, atau warna yang indah dipandang juga harusnya diharamkan.
Jika mendengar musik haram,” tulis Al-Ghazali, “maka tentu suara burung pun akan haram pula.”

Menurut al Ghazali Hukum halal haramnya bermain atau mendengarkan musik tergantung pada niat dan ‘illatnya, jika niat dan ‘illatnya tidak bertentangan dengan syari’at Islam maka halal hukumnya.
Sedangkan menurut Ibnu Qayyim bahwa hukum musik mutlak haram karena larangan tersebut sudah jelas tercantum didalam nash (Al-Qur’an dan Al-Hadist).

Persamaan dan perbedaan pendapat antara al Ghazali dan Ibnu Qayyim terletak pada cara pengambilan hukumnya.
Persamaanya, mereka sama-sama menggunakan nash Al-Qu’an dan Al-Hadist sebagai hujjah dalam menetapkan hukum.
Perbedaanya, al Ghazali menggunakan dalil naqli dan dalil aqli, sedangkan Ibnu Qayyim hanya menggunakan dalil naqli.
Al-Ghazali berpandangan bahwa semua hadis tentang keharaman musik itu bukanlah karena musik itu sendiri haram.
Melainkan karena faktor eksternal (amr kharij) yakni misal tarian gadis, khamr, judi, dan lain-lain.
Keidentikan inilah yang pada akhirnya memicu Nabi Muhammad saw melarang mendengar musik.

Maka sesuai kaidah fikih, jika faktor eksternal ini tidak ditemukan ketika mendengar musik, maka musik menjadi boleh.
Bahkan jika musik bisa mendekatkan diri kepada Tuhan, ia menjadi sunnah.

Imam Al Ghozali dalam memutuskan hukum seni musik mengandalkan dalil dari beberapa hadits shahih yang sama sekali tidak ada unsur penghinaan kepada yang mengharamkan musik dan lagu.   
Hadits tersebut antara lain, tentang Aisyah ra pada pernikahan kerabatnya yang bersuamikan orang anshar.  
Walimah pernikahan yang hening (tanpa  ada  hiburan  apapun) maka seakan-akan  Rasulullah  mengkritik  hal  ini.  
Al Bukhari dan Imam Ahmad meriwayatkan :
فقالالانصارمنرجلالىامرأةإنهازفتعائشةعن :اﷲصلىاﷲنبىاللهوروجبهمالانصارفإنلهومعهمماآانعائشةياوسلمع

Dari Aisyah ra bahwa  beliau menghadiri pernikahan seorang wanita anshar,  maka nabi bersabda:
”Wahai Aisyah apakah tidak memainkan lahwi? Bukankah orang anshar sangat suka permainan“.
Imam  Al  Ghozali  mempergunakan  dalil itu sebagai dalil akan bolehnya  bernyanyi dan menabuh alat musik sebagaimana diterangkan dalam hadits tersebut.

“Siapa yang tidak berkesan hatinya di musim bunga dengan kembang-kembangnya atau oleh suara musik dan getaran nadanya maka fitrahnya telah mengidap penyakit parah yang sulit diobatinya”  - Imam Al Ghazali


Post a Comment

0 Comments